MEMPERTEGAS KELAUTAN KITA

on Selasa, 24 Maret 2009


Oleh Abdul Halim, Peneliti Muda Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jakarta

dalam FORUM KEADILAN No. 45/09-16 Maret 2009
Mukadimah
Semasa rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), agenda reforma agraria ditafsirkan sebatas menjadikan tanah dan sumberdaya alam lainnya sebagai komoditas dan obyek eksploitasi semata. Dalam pada itu, partisipasi rakyat dipinggirkan. Tak ada akses untuk sekadar memperpanjang nafas hidup. Singkatnya, rakyat dipaksa mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ironisnya, paksaan ini menempatkan rakyat harus berhadapan dengan birokrasi yang koruptif dan pemodal yang menghalalkan pelbagai cara untuk merengkuh tujuannya.
Pada pembuka tahun 2007, tersiar dua kabar penting menyangkut kebijakan agraria nasional, yakni dibatalkannya rencana perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dan dicetuskannya rencana pelaksanaan reforma agraria pada pidato awal tahun 2007 oleh Presiden RI.
Tak pelak, dua kabar gembira ini memberi angin segar bagi perwujudan cita-cita bangsa, yakni mengejawantahkan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, dan berkeadaban. Bagi rakyat, tanah dan sumberdaya alam lainnya merupakan faktor kehidupan yang teramat penting. Tak hanya sebagai ruang produksi, tanah dan sumberdaya alam lainnya juga mengandung makna politik, sosial, budaya, dan religius. Dalam ruang itulah, mereka menambatkan cita-cita kehidupannya dan sebisa mungkin memberi sumbangsih bagi kemajuan negeri.
Tulisan ini hendak memotret relevansi reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan, memberi catatan kritis atas kesalahan rezim di masa lampau dan masa kini terkait agenda reforma agraria, dan usulan solusi yang bisa diacu sebagai panduan pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan.

Relevansi reforma agraria
Pelaksanaan reforma agraria merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang telah lama dikumandangkan sejak awal pendirian bangsa. Sebagaimana diamanahkan oleh Soekarno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960:
"Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu. Jangan mengira 'land-reform' yang kita hendak laksanakan adalah komunis! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh punya tanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnya maupun minimumnya, dan hak milik tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik perseorangan".

Apa yang disampaikan oleh Soekarno merupakan perpanjangan dari ide dasar pelaksanaan reforma agraria, yakni mewujudkan keadilan agraria. Perwujudan keadilan agraria ini ditopang oleh 3 (tiga) prinsip pokok, yakni (1) hak rakyat untuk berkembang dan menentukan arah perkembangannya; (2) hukum agraria bersifat kerakyatan dan memihak kaum marginal; dan (3) hukum agraria menganut asas kebangsaan dengan menghormati keragaman budaya yang termuat dalam hukum-hukum adat. Ketiga prinsip inilah yang menjadi pedoman relevansi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.
Ditambah lagi, Deklarasi Djoeanda 1957 tegas menyebutkan bahwa "pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memperhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau". Pun dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa "sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dipandang sebagai kesatuan kewilayahan yang harus diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Potret krisis kelautan
Diterbitkannya UU No. 27 Tahun 2007 oleh DPR RI ini tak hanya bertolak-belakang dengan rencana pelaksanaan reforma agraria, tetapi juga mengulang kesalahan fatal rezim Orde Baru. Bentuk kesalahan itu adalah pemberian izin kepada pemodal untuk mengeruk-habis sumberdaya laut dan pesisir melalui hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) dengan meminggirkan hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Belajar dari pengalaman rezim Orde Baru, kesalahan fatal dalam kebijakan pengelolaan sumber-sumber agraria terpola dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: (1) kebijakan sarat eksploitasi dan (2) kebijakan bersifat sektoral dalam penguasaan, penggunaan, dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya guna mengejar efisiensi ekonomi; (3) kerap memakai pendekatan top-down dan sentralistik; (4) sarat konflik kepentingan antara institusi dan pemodal; (5) prinsip diskriminasi lebih mengedepan; dan (6) menyulut aparatur negara berlaku represif dan melanggar HAM.
Pelanggaran HAM terkait reforma agraria tak hanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, melainkan juga telah menyub-ordinasi manusia (baca: rakyat) tak lebih sebagai obyek pembangunan. Proses dehumanisasi ini berkait-kelindan dengan minusnya visi pembangunan bangsa Indonesia yang berjangkar pada kodratnya, yakni negeri kepulauan. Alhasil, orientasi pembangunannya berjalan melambat dan amburadul.
Masyhur sebagai negeri kepulauan dengan luas wilayah perairan 5,8 juta km2, luas daratan hanya 1,9 juta km2, dan memiliki 17.508 pulau besar dan kecil, serta panjang pantai seluas 81.000 km2, Indonesia dihadapkan pada tiadanya visi kelautan yang menjadi rujukan pokok pembangunan. Terlebih, pembangunan yang berlangsung hingga detik ini terlampau berwatak daratan (land-based).
Dari deskripsi di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan tak bisa dilepaskan dari tiga aspek pokok pembangunan. Pertama, aspek politik. Dalam lanskap politik, hak konstitusi yang mesti diberikan adalah perluasan partisipasi aktif masyarakat dalam merumuskan kebijakan di tingkat lokal, khususnya menyangkut rencana pelaksanaan reforma agraria. Dengan perkataan lain, kebijakan yang dilahirkan bukan didasarkan pada semangat sentralistik, melainkan desentralistik.
Kedua, aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks ini, nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus diberikan hak untuk mengelola sumberdaya alam sesuai dengan kebutuhan dasar dan kearifan lokal yang mereka hayati, bukan dikte pemerintah pusat.
Dengan demikian, rencana pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan haruslah memperhitungkan keberadaan nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai subyek pembangunan, bukan malah meniadakan hak-hak konstitusi mendasar yang semestinya harus dipenuhi oleh negara (baca: pemerintah), seperti tecermin pada substansi UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta PerMen No.. 06 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara.

Penutup
Dengan memperhatikan karakteristik negara kepulauan, reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan harus mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akibat visi pembangunan yang sekadar memandang laut sebagai "lahan buangan," bukan sebagai ruang hidup dan ruang juang segenap anak bangsa.
Tumpulnya visi pembangunan kelautan berdampak pada: (a) hilangnya akses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya; (b) penurunan kualitas sumber daya manusia; (c) struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang kian jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan dan budaya bangsa Indonesia; serta (d) kerusakan lingkungan hidup dan hancurnya sumber-sumber daya alam lainnya.
Tak ayal, pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan haruslah memperhatikan karakteristik wilayah dan pelbagai dimensi kehidupan yang mengitari keseharian nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia.
Terlebih konsepsi sebagai negeri kepulauan telah mengakar dan bersifat final. Salah satu cirinya adalah melimpahnya budaya bahari yang melekat pada jati diri dan sistem sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia. Di pelbagai kepustakaan, kita mengenal ponggawa laut1 (Sulawesi Selatan), bapongka2 (Sulawesi Tengah), dan sasi3 (Maluku Tengah) sebagai bentuk-bentuk kearifan tradisional yang arif terhadap sumber daya laut dan perikanan nasional. Pun terhadap keberlanjutan ekologis. Pada konteks ini, ada keterkaitan relasi sosio-ekologis antara manusia dan sumber daya laut dan perikanan.
Akhirnya, dukungan Indonesia atas United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) pada tanggal 13 September 2007 lalu adalah bentuk penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia, termasuk di dalamnya nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mengacu pada sumber historis ini, selaiknya rencana pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan mengikutsertakan kearifan tradisional yang telah berurat-akar dan menyatu dalam jati diri Keindonesiaan, bukan malah meminggirkan masyarakat adat melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan pelegalan kembali trawl..
Saatnya Indonesia melaut!

------------------------------------------------------
Artikel ini juga bisa diakses di www.kiara.or.id

Nelayan, Kemiskinan, dan Strategi Adaptasi

Oleh : Khudori

PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN

Dimuat di Koran Tempo Edisi 12 Maret 2009 (http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/12/Opini/krn.20090312.159294.id.html)

Cuaca buruk sebenarnya hal biasa. Nelayan sudah akrab dengan irama alam itu. Untuk mengisi waktu, nelayan biasanya memanfaatkannya untuk memperbaiki jaring atau perahu. Dengan cara itu, di musim paceklik mereka masih bisa produktif. Masalahnya jadi lain apabila cuaca buruk berlangsung lebih lama dan fluktuasinya sulit diprediksi, seperti musim barat saat ini. Musim paceklik, yang biasanya berlangsung tiga bulan (Januari-Maret), kini bertambah panjang. Ini ibarat kutukan tahunan. Alat tangkap yang terbatas dan teknologi yang usang membuat nelayan terus berkubang dalam kemiskinan.

Kemiskinan dan nelayan seolah dua sisi dari satu keping mata uang. Fenomena ini belum hilang. Berbagai studi menunjukkan, kehidupan keluarga nelayan tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Studi-studi tersebut menyimpulkan, tekanan yang dialami keluarga para nelayan buruh, nelayan kecil, atau nelayan tradisional relatif lebih intensif dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di desa pertanian atau perkampungan-perkampungan kumuh (slum) di daerah perkotaan.

Ini terjadi karena (Karim, 2003), pertama, kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah dalam membangun sub-sektor perikanan. Secara empiris Tinjabate (2001) membuktikan, akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dalam pembangunan perikanan untuk meningkatkan hasil produksi perikanan laut sebagai sumber devisa negara, intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan di Kecamatan Ampenan berlangsung secara intensif. Kepentingan nelayan tradisional menjadi terabaikan akibat perlakuan diskriminatif pemda.

Kedua, ketergantungan yang berbentuk hubungan patron-klien antara pemilik faktor produksi (kapal, alat tangkap) dan buruh nelayan. Penelitian Nasikun dkk (1996) di Muncar, Jawa Timur; Elfiandri (2002) di pantai barat Sumatera Barat; dan Iwan (2002) di daerah Kelurahan Nipah I dan II Kabupaten Tajung Jabung, Jambi, menghasilkan kesimpulan sama: akibat penetrasi kapitalisme dalam aktivitas nelayan, nelayan dan buruh nelayan lebih cepat terseret ke dalam kemiskinan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang diharapkan mengubah mode of production dari sistem tradisional jadi modern tidak terjadi. Ini karena proses yang terjadi tidak dibarengi pergeseran hubungan kerja ke arah yang lebih rasional dan saling menguntungkan.

Ketiga, adanya fenomena kompradorisme dalam modernisasi perikanan tangkap. Ini ditandai dengan fragmentasi kegiatan nelayan dari homogen jadi beragam akibat intervensi kapital atas komunitas nelayan (Tinjabate, 2001). Ini memunculkan formasi sosial baru, yaitu adanya buruh nelayan dan punggawa, serta perubahan sumber penghasilan nelayan yang semula diusahakan sendiri kemudian jadi upah yang diberikan juragan pemilik faktor produksi. Punggawa berkedudukan bak kelas komprador yang bertindak sebagai kaki tangan juragan sekalipun, dia berasal dari masyarakat nelayan yang sama sekali tak punya akses ekonomi dan politik. Pada level makro, kelas komprador berperan sebagai broker lisensi dan perizinan. Ia bertopeng sebagai pengusaha domestik, tapi sebetulnya berkolusi dengan oknum birokrat/penguasa untuk memuluskan izin kapal berbendera asing.

Itu yang membuat ekonomi keluarga nelayan tetap dalam belenggu kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, setiap individu anggota keluarga atau rumah tangga nelayan dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara. Setiap individu rumah tangga harus memiliki kemauan untuk mencari nafkah, bagaimanapun kecilnya penghasilan itu. Setiap anggota rumah tangga bisa memasuki beragam pekerjaan (occupational multiplicity) yang dapat diakses. Dalam situasi penuh tekanan, sistem pembagian kerja rumah tangga nelayan tidak lagi rigid, tapi bersifat fleksibel. Hal tersebut bisa dipandang sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan yang mengitarinya.

Dalam kondisi demikian, posisi perempuan memegang peranan cukup penting. Beragam pekerjaan bisa dimasuki oleh istri-istri nelayan untuk menambah penghasilan, seperti sebagai pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu/kapal yang baru mendarat, pengumpul nener, pekerja pada perusahaan penyimpanan udang beku atau industri rumah tangga untuk pengolahan ikan, pembuat jaring, pedagang ikan eceran, pedagang (ikan) perantara, beternak, berkebun, dan pemilik warung (Poernomo, 1992). Masalahnya, ragam pekerjaan yang bisa dimasuki oleh perempuan masih terkait dengan kegiatan perikanan. Ragam kegiatan tersebut memiliki kerentanan amat tinggi.

Di sinilah pentingnya strategi menciptakan, mengembangkan, dan memelihara hubungan-hubungan sosial untuk membentuk suatu jaringan sosial (social net) sebagai bagian dari strategi adaptasi. Jaringan sosial ini berfungsi memudahkan setiap anggota memperoleh akses ke sumber daya ekonomi yang tersedia di lingkungan. Jaringan sosial yang anggotanya memiliki kesamaan kemampuan sosial-ekonomi (bersifat horizontal) biasanya berwujud aktivitas tolong-menolong. Sebaliknya, jaringan sosial yang anggotanya cukup beragam (bersifat vertikal), polanya berbentuk patron-klien (Kusnadi, 1997). Hubungan-hubungan sosial dalam kedua jaringan sosial bisa berupa tukar-menukar, ataupun peminjaman timbal-balik sumber daya ekonomi, seperti uang, barang, dan jasa. Dalam masyarakat yang memiliki sumber daya terbatas, jaringan ini amat penting.

Masalahnya, beragam strategi adaptasi ini semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif yang bersifat subsistensi, bukan kebutuhan yang bersifat produktif. Dalam jangka panjang, diperlukan strategi yang lebih mendasar untuk meretas belenggu kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan ketergantungan rumah tangga nelayan miskin terhadap lingkungan sumber daya yang melingkupinya. Pertama, diversifikasi teknologi. Nelayan jatuh miskin karena sering kali gagal beradaptasi dengan variasi musim akibat terbatasnya jenis alat tangkap. Di Pasuruan, musim teri nasi adalah Desember-April. Setelah April, mereka butuh alat tangkap lain agar bisa menangkap ikan selain teri (Satria, 2008). Ini juga terjadi pada nelayan daerah lain. Keterbatasan modal membuat nelayan hanya punya satu alat tangkap, sehingga kepastian hidupnya tak pasti.

Kedua, mengembangkan sumber nafkah baru yang tidak bergantung pada hasil penangkapan. Dua sumber nafkah baru yang dapat dimasuki bisa berbasis perikanan dan nonperikanan. Kegiatan alternatif berbasis perikanan berupa usaha budidaya, pengolahan ikan tradisional, dan bakul ikan. Kegiatan alternatif nonperikanan yang bisa dimasuki adalah usaha pertanian di lahan pesisir. Namun, mengubah nelayan menjadi pembudidaya bukan hal mudah. Dibutuhkan konsistensi kebijakan agar berhasil. Ketiga, untuk mewujudkan itu perlu skema pendanaan yang fleksibel, sesuai dengan kebutuhan nelayan. Tanpa itu semua, cuaca buruk membuat nelayan dan kemiskinan seolah duet serasi yang abadi.

UU PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM TAK KONSISTEN


Harian Kompas, 24.3.09 menurunkan berita tentang hasil diskusi dalam Pertemumuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin 23.3). Saat ini sebanyak 12 undang-undang telah diterbitkan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan namun diantara keduabelas itu tidak konsisten dalam substansinya. Kondisi inlah yang membuat lingkungan kita semakin tidak karuan, dan makin memprihatinkan kalau tidak diselaraskan, masa depan pengelolaan lingkungan ke depan akan semakin kacau.

Guru besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono mengemukakan ”Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda,” kata salah satu pengkaji. Kesimpulan di atas diambil setelah dilakukan kajian dengan melihat tujuh aspek tolok ukur (indikator) yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya. Ditemukan ada UU yang semangatnya konservasi, ada pula yang eksploitasi, atau keduanya menyatu. Kalau tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai pasal 33 UUD 45 seharusnya akses bagi rakyat diutamakan, faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.
Undang-undang itu antara lain UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan.
Dr. Ernan Rustiadi, pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu.

Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta. ”Masing-masing sektor masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan SDA,” katanya.

Peran legislatif

Guru besar Hukum UGM Nurhasan Ismail mengatakan, masih ada kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Salah satunya peran DPR untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor. ”Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah
konsisten. DPR bisa lakukan itu, tidak lagi hanya urusan politiknya saja" . Masing-masing epartemen/kementerian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah.Sehingga tidak akan pernah konsisten.
Prof. Maria juga mengatakan, syarat lain pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Ia menyebut RUU
Pengelolaan SDA yang sejak tahun 2001 belum juga disahkan DPR.

”Nantinya seluruh UU yang ada (harus) menyesuaikan dengan pijakan bersama yang berisi prinsip-prinsip itu,” kata Maria. Tanpa itu, ia menilai pengarusutamaan akan sangat berat diwujudkan.

Jejak singkat dan prestasi Rasulullah

on Rabu, 18 Maret 2009

Kembali saya mengingatkan diri saya untuk mengenang jejak prestasi Rasululllah Muhammad. Namun tidak semua jejak itu dituliskan, gak cukup lah...dan tentu tidak sebanding dengan bejibunnya  prestasi sang Al Amin ini.

Kita hanya akan mencari ikon-ikon 'tonggak' perjalanan hidup yang membuat beliaud dijadikan model pemimpin umat (bangsa) bukan saja oleh umat Islam, tapi juga non Muslim.  Dan ini menunjukkan bahwa beliau memang bukan tokoh sembarang tokoh. Sepanjang hidup Rasulullah SAW yang diberi usia sepanjang 63 tahun oleh Allah SWT, berbagai torehan hidup menjadi teladan ummat manusia hingga kini. 63 tahun sebenaranya skala waktu yang relatif pendek dibanding usia nabi-nabi terdahulu, dan usia beliau sampai wafat tidak jauh berbeda dengan manusia di era sekarang, bahkan usia harapan hidup di berbagai negara sudah melampaui 63 tahun. Mari kita kenang kembali masa-masa Rasulullah, sejak usia anak-anak sampai dewasa dan kita bandingkan dengan era kita sekarang.

Rasulullah saat lahir sudah menjadi anak yatim, ayahnya meninggal semasa beliau dalam kandungan. Ibunda pun meninggal saat beliau belum genap 5 tahun (balita). Beliau diasuh oleh kakek (Abdul Mutholib) kemudian pamannya (Abu Thalib). Untuk membantu penghidupan paman, beliau melakukan kegiatan menjadi penggembala kambing hingga ikut berdagang. Di usia 7 tahun beliau telah ikut kafilah dagang hingga ke negara Syam (Palestina sekarang), dan kegiatan berdagang ini ditekuni hingga waktu yang cukup lama.

Kalau kita lihat anak-anak kita sekarang. Usia 7 tahun sebagian besar mereka masih bermanja-manja kepada orang tua. Sementara Muhammad kecil sudah ikut bersusah-susah dan bekerja menggembala ternak dan berdagang. Sebenarnya ada sebagian anak bangsa kita terutama di kota-kota besar, kita kita temui anak-anak di bawah 10 tahun sudah bekerja menjadi pengamen, pedagang  asongan, loper koran dsb, itu adalah suasana yang hampir sama dengan saat itu. Namun, Muhammad sudah berbeda level. Muhammad bukan kelas pedagang asongan atau kaki lima. Muhammad adalah pedagang 'besar' yang levelnya sudah antar negara. Jika bahasa sekarang, orang mungkin menyebutnya sudah orientasi ekspor/impor. Muhammad kanak-kanak melakukan perjalanan keluar negeri untuk bekerja, berdagang, berwirausaha. 

Kegiatan Rasulullah sebagai importir/eksportir terus berlanjut hingga di usia remaja beliau mampu menjadi pemimpin kafilah perdagangan (misi perdagangan antar negara), sehingga kalo saat itu sudah ada asosiasi pengusaha maka Muhammad remaja, selain menjadi direktur atau manajer perusahaan dagang, juga menjadi ketua asosiasi pedagang..ya  mungkin KADIN. Ya..ethos wirausaha rasulullah dilatih sejak masih anak-anak, sehingga ketika besar sudah sangat matang.

Jika kita lihat saat ini, ethos wirausaha kita termasuk sangat rendah. Hal ini menurut saya banyak dipengaruhi kehidupan saat anak-anak dan remajanya  yang sibuk dengan urusan hura-hura, entertainment dan budaya hedon. Jangankan menemukan anak remaja berprestasi sebagai direktur atau manajer perusahaan, yang  belajar berusaha saja akan jarang? memang ada beberapa daerah atau etnis yang ethos usahanya telah dibangun sejak kecil, seperti etnis minang dan china, tapi berapa persen utnuk seluruhnya?

Muhammad menikah di usia 25 tahun. Usia ideal untuk pemuda, meski istrinya Khadijah berusia 40 tahun saat itu, dan sudah janda pula. Bagi sebagian orang, mungkin dianggap Muhammad dibeli oleh Khadijah karena sebelumnya memang pemuda Muhammad bekerja pada Khadijah, dan khadijah adalah pemilik usaha dagang terkemuka di Makkah. tapi jangan salah sangka dulu, bahwa saat menikah, Muhammad bukan tanpa modal, lihat saja mas kawinnya...beliau memberikan mas kawin berupa 25 ekor unta betina muda. Nilai sejumlah itu adalah cukup besar. Ada yang menghitung-hitung nilainya...dan jika saja nilai setiap ekor unta berharga Rp. 25 juta, maka mas kawin Muhammad senilai 0,5 milyar.  Belum kalau ditrasfer ke dalam nilai guna, dimana onta dalah alat trasportasi utama di jazirah Arabia. Jika unta dinilai sebagai alat transport maka seokor unta senilai sebuah mobil, maka mas kawin Muhammad senilai 25 mobil. Kalau anak muda sekarang?, masih adakah pemuda berusia 25 tahun, mengawini wanita dengan mas kawin 25 kendaraan, ...ada tapi dari asset orang tua. Kalo Muhammad hasil kringat sendiri dan tentu setelah menikahi khadijah, tidak habis jadi masih memiliki properti lain kan?

Selain pedagang Muhammad adalah tercatat sebagai negosiator ulung, atau sekarang mungkin dikenal sebagai diplomat. tanah arab yang dikenal dengan ketandusannya secara sosiologis melahirkan karakter yang keras, sehingga sering terjadi konflik antar suku, antar kafilah dan antar keluarga. Beliau tercatat menjadi berbagai perselisihan, dan dalam catatan sejarah kenabiannya, beliau mampu mendamaikan perselisihan antar suku ketika pemugaran Ka’bah dan penempatan kembali Hajar Aswad. Kalau kita tengok sekarang di Departemen Luar Negeri kita atau panggung politiknya, adakah muda berusia 30-an yang dipercaya dan mampu berprestasi se-cemerlang Muhammad menjadi diplomat atau tokoh politik yang memiliki peran demikiansignifikan?. Mampu mecegah peperangan dan menciptakan perdamaian ke seluruh negeri. Atas prestasi-prestasi ketika berdagang dengan jujur, dan dipercaya enjadi penengah konflik inilah kemudian Muhammad mendapat gelar Al Amin...orang yang dapat dipercaya.

Ya akhirnya sejarah memang mencatat, bahwa Muhammad telah mencatatkan prestasi-prestasi cemerlang dan gemilang..jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah. Di usia kanak-kanak, beliau merintis karir sebagai pedagang antar negara. Muhammad telah sukses sebagai manajer di usia remaja hingga diplomat. Sudah selayaknya kita sebagai umat bangga akan prestasi yang beliau raih. Prestasi-prestasi yang hanya dapat diraih oleh tokoh jenius dan memiliki keuletan tinggi.  
di sarikan dari berbagai sumber

Rahasia Buta Hurufnya Rasulullah

Meski agak lambat, saya merepson peringatan Maulid (kelahiran) nabi Muhammad, 12 Rabiul Awwal lalu dengan mencoba mengingat nilai-nilai istimewa Muhammad. Muhammad dikatakan sebagai orang yang sempurna, meski dia manusia yang punya kecenderungan berbuat salah, tapi salahnya Muhammad sudah diampuni, sebelum kesalahan itu datang...(?). Satu hal yang bagi saya masih belum paham, kenapa Allah menicptakan Muhammad sebagai pribadi yang buta huruf...ya...Rasulullah adalah seorang buta huruf, Rasulullah tidak dapat membaca, sehingga ketika Al Quran pertama turun ia benar-benar bingung ketika Jibril menyuruh membaca (Iqra) , dan kemudian dalam surat-suratnya Alqur'an adalah wahyu yang menempatkan ilmu sebagai basis seorang muslim, dan itu bisa dilakukan dengan membaca.

Tapi...sebagian besar umat Muslim tidak peduli dengan kondisi itu. Karena kepribadian dan lompatan revolusinya melampaui jauh dari kelemahan ini, bahkan melampaui prestasi seluruh manusia sepanjang zaman.

Soal buta hurufnya rasulullah ini, jelas bukan suatu ketidak sengajaan, atau bahkan kelalaian Allah. pasti ada rahasia besar didalamnya. Namun jika pernyataan itu dicerna lebih dalam, muncul pertanyaan besar atau malah beban besar.  Sebagai awam...kita pasti malu jika diketahui pimpinan atau panutan kita..ya katakanlah ayah kita buta huruf, bahkan kadang harus berbohong untuk menutupi kebutahurufan itu. Tapi pakah kita (sebagai muslim) merasa malu dengan rasul kita yang buta huruf ini? Kalo saya pribadi TIDAK MALU. Kenapa? ya itu tadi keteladanan yang dapat ditiru dn lompatan revolusinya yang jauh melampaui dari sekedear tidak bisa baca huruf. Kemampuan membaca (keadaan, masa depan, situasi dll) beliau jauh lebih kuat daripada yang memiliki kemampuan baca, ahli bahasa, pakar, ahli nujum dan siapapundi jamannya. Itulah sosok uswatun hasanah (teladan dalamkebaikan) semua ummat manusia, diidolakan milyaran orang, bukan aja muslim tapi melampaui batas agama dan geografis, ditunggu syafaatnya di Hari Akhir (Yaum addin) .  Jadi inilah...mengapa, relatif tidak ada yang menjadikan ini sebagai sebuah kekurangan, termasuk oleh musuh-musuh Islam. Bahkan menurutku, buta huruf ini dapat ditampilkan sebagai mukjizat. Mukjizat yang menunjukkan Muhammad benar-benar Nabi yang diutus Allah SWT. Dalam penalaran awam, tidak mungkin seorang yang buta huruf mampu menghasilkan karya tulis yang sangat indah. Pasti karya itu Sang Maha Pencipta. Dalam pandangan lain, justru kebutahurufan beliau adalah suatu contoh terbaik bagi kita, agarsebagai muslim, sebagai ilmuwan kita jangan terpaku kepada tanda-tanda huruf  yang tampah di mata, di buku (tersurat), tapi tanda-tanda (huruf) yang tersirat jauh lebih kompleks, lebih banyak. Dan ini bisa dibaca dengan sangat terang, berkat hidayah Allah oleh Rasulullah. Jadi buta huruf bagi rasulullah bukalah kelemahan dan aib yang harus ditutupi.

Toh kelemahan ini tidak menghambat kinerja beliau sebagai Rasul, pemimpin dan kepala nagara. Dalam historinya, karena beliau tidak mampu baca tulis, beliau mengangkat beberapa orang sahabat sebagai juri tulis, sehingga jejak beliau cukup terdokumentasi dengan sangat baik, termasuk yang sangat istimewa adalah Al Qur'an dan Hadits dan juga rekam jejak pemerintahan, seperti Piagam Madinah yang sangat terkenal itu.

Selamat Ulang Tahun ya nabi ya Muhammad. Rindu kami padamu Ya Rasulullah