UU PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM TAK KONSISTEN

on Selasa, 24 Maret 2009


Harian Kompas, 24.3.09 menurunkan berita tentang hasil diskusi dalam Pertemumuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin 23.3). Saat ini sebanyak 12 undang-undang telah diterbitkan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan namun diantara keduabelas itu tidak konsisten dalam substansinya. Kondisi inlah yang membuat lingkungan kita semakin tidak karuan, dan makin memprihatinkan kalau tidak diselaraskan, masa depan pengelolaan lingkungan ke depan akan semakin kacau.

Guru besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono mengemukakan ”Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda,” kata salah satu pengkaji. Kesimpulan di atas diambil setelah dilakukan kajian dengan melihat tujuh aspek tolok ukur (indikator) yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya. Ditemukan ada UU yang semangatnya konservasi, ada pula yang eksploitasi, atau keduanya menyatu. Kalau tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai pasal 33 UUD 45 seharusnya akses bagi rakyat diutamakan, faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.
Undang-undang itu antara lain UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan.
Dr. Ernan Rustiadi, pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu.

Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta. ”Masing-masing sektor masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan SDA,” katanya.

Peran legislatif

Guru besar Hukum UGM Nurhasan Ismail mengatakan, masih ada kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Salah satunya peran DPR untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor. ”Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah
konsisten. DPR bisa lakukan itu, tidak lagi hanya urusan politiknya saja" . Masing-masing epartemen/kementerian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah.Sehingga tidak akan pernah konsisten.
Prof. Maria juga mengatakan, syarat lain pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Ia menyebut RUU
Pengelolaan SDA yang sejak tahun 2001 belum juga disahkan DPR.

”Nantinya seluruh UU yang ada (harus) menyesuaikan dengan pijakan bersama yang berisi prinsip-prinsip itu,” kata Maria. Tanpa itu, ia menilai pengarusutamaan akan sangat berat diwujudkan.

0 komentar:

Posting Komentar